Presiden Joko Widodo memberikan
pidato dalam pesta rakyat salam 3 jari di Monumen Nasional, Jakarta, 20 Oktober
2014. TEMPO/Frannoto
|
"Pasca reformasi, baru kali ini posisi jaksa agung diserahkan ke orang partai," kata Zainal di Yogyakarta, Sabtu, 29 November 2014. Zainal menilai ekspektasi publik terhadap kinerja pemerintahan baru biasanya tinggi di masa awal. Namun seringkali ekspektasi itu tidak berhasil dikelola baik dengan penguatan sistem birokrasi yang transparan, akuntabel dan tidak koruptif.
Zainal mencontohkan, pada awal masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,tahun 2004, eskpektasi aktivis anti-korupsi sangat tinggi. "Tapi di 2005 menurun drastis," katanya. Apalagi, menurut Zainal, tantangan pengelolaan ekspektasi publik bagi pemerintah bertambah berat karena sistem kebijakan masih banyak kelemahan di hulu-hilir. "Akibatnya rentan koruptif dan sulit dipercaya publik."
Dia mencontohkan, aspek integritas yang penting bagi pemegang jabatan di lembaga negara belum masuk sebagai unsur penting dalam sistem kebijakan. Salah satu prakteknya, kewenangan penganggaran bagi anggota dewan bisa digunakan untuk menentukan keputusan kenaikan gaji.
Contoh lain, di Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), wakil rakyat bisa diperkarakan di Dewan Kehormatan dengan izin pimpinan legislatif. Pertentangan kepentingan mudah muncul ketika yang terlibat pelanggaran justru pimpinan dewan. "Sistem pengendali tidak ada, masalah integritas jadi urusan personal, bukan sistem," katanya.
Zainal menyimpulkan banyak sistem perumusan dan pelaksanaan kebijakan di Indonesia yang bermasalah karena memuat konflik kepentingan yang tidak dicegah oleh sistem. Akibatnya, potensi korupsi terbuka lebar. "Kekuasaannya besar, punya kewenangan diskresi, tapi minus transparansi dan akuntabilitas," katanya. (TEMPO.CO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar