Firmansyah Bupati Lebong, Bengkulu, Rosjonsyah dalam pidatonya menyoal kontribusi dunia bagi daerahnya yang menjaga paru-paru dunia |
Bengkulu - WARA - Bupati Kabupaten Lebong, Bengkulu, Rosjonsyah mengeluhkan
Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang mengepung wilayahnya tak membawa
kemakmuran bagi rakyat. Sementara pihaknya diminta menjaga hutan tersebut
karena bagian dari paru-paru dunia.
"Kami diminta menjaga hutan sementara rakyat kami kurus, tak dapat melakukan apa-apa, karena hanya 30 persen luasan Kabupaten Lebong yang dapat dikelola masyarakat, sisanya adalah taman nasional. Ini tidak adil, dunia harusnya memberikan kami kompensasi menjaga hutan agar kami tak kurus," ungkap Rosjonsyah dalam acara konsolidasi implementasi REDD di Bengkulu, Rabu (17/12/2014).
Ia menjelaskan, Kabupaten Lebong memiliki luas 221.000 hektar dengan penduduk 174.000 jiwa penduduk. Dari total luas daerah Lebong, 20.777 hektar di antaranya hutan lindung, 111.000 hektar wilayah TNKS, 2.800 hektar suaka alam dan area peruntukan lain 58.000 hektar.
"Kami diminta menjaga hutan sebagai paru-paru dunia namun kami masak tetap gunakan kayu, semua kehidupan masyarakat kami tergantung pada hutan. Saya tak dapat mencegah mereka (rambah hutan), karena tak ada perkebunan di Lebong. Kalau skema penjualan karbon dijalankan dan kami mendapatkan kompensasi, saya sanggup larang warga ke hutan," tegasnya dalam pidato.
Menurut dia, APBD Kabupaten Lebong tak dapat diandalkan untuk membantu menyelamatkan TNKS jika tak ada bantuan dari pihak lain. Ia juga mengkritik keberadaan tapal batas TNKS yang merangsek permukiman bahkan hingga ke dapur rumah warga.
"Tapal batas TNKS sangat dekat dengan rumah warga, padahal dulunya jauh di tengah hutan, kenapa bisa terjadi, ini harus dievaluasi," bebernya.
Sementara itu, Direktur Yayasan Akar, Erwin Basyrin menjelaskan, konflik masyarakat dengan hutan kerap terjadi di daerah itu, bahkan tak jarang berakhir hingga masuk penjara. Berdasarkan catatan Yayasan Akar, Provinsi Bengkulu memiliki 1.507 desa dan 620 di antaranya masuk ke kawasan hutan termasuk taman nasional.
"Kita harus fair, hutan harus lestari dan masyarakat makmur, masyarakat sejahtera namun hutan rusak itu juga tak baik, bencana akan mengancam," ingatnya.
Sementara itu, asisten ahli kepala nadan pengelola Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD ) atau pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan, Didy Wurdjianto menyebutkan, Bengkulu harus menyiapkan perangkat berupa data, kesepakatan dalam bentuk kontrak, dan kelengkapan lainnya untuk ikut dalam skema perdagangan karbon untuk mendapatkan kompensasi pengelolaan hutan.
"Perangkatnya yang harus disiapkan seperti membentuk semacam Satgas yang melakukan kerja dan berkoordinasi dengan REDD. Setelah itu terbentuk barulah dilakukan kerja pengurangan emisi karbon dan nanti akan dievaluasi dan dihitung berapa penurunan karbonnya, jadi tidak serta merta mendapatkan kompensasi, masih banyak tahapannya," kata Didy.
Meski demikian, ia juga mengapresiasi Bengkulu dengan inisiatif sendiri tanpa dibantu pihak lain mampu menurunkan laju emisi karbon sebesar 15,7 persen. (KOMPAS.com)
"Kami diminta menjaga hutan sementara rakyat kami kurus, tak dapat melakukan apa-apa, karena hanya 30 persen luasan Kabupaten Lebong yang dapat dikelola masyarakat, sisanya adalah taman nasional. Ini tidak adil, dunia harusnya memberikan kami kompensasi menjaga hutan agar kami tak kurus," ungkap Rosjonsyah dalam acara konsolidasi implementasi REDD di Bengkulu, Rabu (17/12/2014).
Ia menjelaskan, Kabupaten Lebong memiliki luas 221.000 hektar dengan penduduk 174.000 jiwa penduduk. Dari total luas daerah Lebong, 20.777 hektar di antaranya hutan lindung, 111.000 hektar wilayah TNKS, 2.800 hektar suaka alam dan area peruntukan lain 58.000 hektar.
"Kami diminta menjaga hutan sebagai paru-paru dunia namun kami masak tetap gunakan kayu, semua kehidupan masyarakat kami tergantung pada hutan. Saya tak dapat mencegah mereka (rambah hutan), karena tak ada perkebunan di Lebong. Kalau skema penjualan karbon dijalankan dan kami mendapatkan kompensasi, saya sanggup larang warga ke hutan," tegasnya dalam pidato.
Menurut dia, APBD Kabupaten Lebong tak dapat diandalkan untuk membantu menyelamatkan TNKS jika tak ada bantuan dari pihak lain. Ia juga mengkritik keberadaan tapal batas TNKS yang merangsek permukiman bahkan hingga ke dapur rumah warga.
"Tapal batas TNKS sangat dekat dengan rumah warga, padahal dulunya jauh di tengah hutan, kenapa bisa terjadi, ini harus dievaluasi," bebernya.
Sementara itu, Direktur Yayasan Akar, Erwin Basyrin menjelaskan, konflik masyarakat dengan hutan kerap terjadi di daerah itu, bahkan tak jarang berakhir hingga masuk penjara. Berdasarkan catatan Yayasan Akar, Provinsi Bengkulu memiliki 1.507 desa dan 620 di antaranya masuk ke kawasan hutan termasuk taman nasional.
"Kita harus fair, hutan harus lestari dan masyarakat makmur, masyarakat sejahtera namun hutan rusak itu juga tak baik, bencana akan mengancam," ingatnya.
Sementara itu, asisten ahli kepala nadan pengelola Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD ) atau pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan, Didy Wurdjianto menyebutkan, Bengkulu harus menyiapkan perangkat berupa data, kesepakatan dalam bentuk kontrak, dan kelengkapan lainnya untuk ikut dalam skema perdagangan karbon untuk mendapatkan kompensasi pengelolaan hutan.
"Perangkatnya yang harus disiapkan seperti membentuk semacam Satgas yang melakukan kerja dan berkoordinasi dengan REDD. Setelah itu terbentuk barulah dilakukan kerja pengurangan emisi karbon dan nanti akan dievaluasi dan dihitung berapa penurunan karbonnya, jadi tidak serta merta mendapatkan kompensasi, masih banyak tahapannya," kata Didy.
Meski demikian, ia juga mengapresiasi Bengkulu dengan inisiatif sendiri tanpa dibantu pihak lain mampu menurunkan laju emisi karbon sebesar 15,7 persen. (KOMPAS.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar