Jakarta – WARA,
Wacana pemerintah menghapus kolom
agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) menuai kontroversi. Ada yang setuju,
tapi tak sedikit juga yang mengecam rencana Menteri Dalam Negeri tersebut.
Menyikapi hal ini, Bupati
Purwakarta Dedi Mulyadi berpendapat, pemerintah tidak perlu menghapus kolom
agama di dalam KTP. Namun, dia meminta kepada pemerintah agar mengakui seluruh
keyakinan yang ada di Indonesia.
“Mau agama atau paham apapun,
saatnya mengisi kolom di KTP. Semisal saudara kita yang berkeyakinan Kejawen,
Sunda Wiwitan, Dayak Benoa, dan sebagainya. Mereka berhak menjadi penduduk
Indonesia. Termasuk kalau yang merasa tidak bertuhan atau ateis silakan
mencantumkan keyakinannya. Silakan saja kalau berani, biar semua orang tahu,”
kata Bupati yang kerap berdandan nyentrik ini kepada Okezone, Rabu
(26/11/2014).
Dedi mengakui, untuk mewujudkan
hal tersebut tidaklah mudah dan mustahil dilakukan dalam waktu dekat. Sebab,
lanjutnya, perlu perubahan Undang-Undang yang mengatur tentang kebebasan
beragama di Indonesia, yang di dalamnya mengakui seluruh paham dan keyakinan
yang ada di seluruh Persada Bumi Nusantara. Salah satunya, harus ada pihak yang
berani mencabut TAP MPR-nya.
“Saatnya kita bermimpi tak ada
lagi penghancuran tempat ibadah, atau pengusiran sebuah golongan karena
dianggap mencemari atau mencederai sebuah keyakinan agama, karena kita sudah
memahami paham dan rujukan kita masing-masing,” harapnya.
Dedi mengungkapkan, tak ada
salahnya masyarakat jujur dalam mengakui keyakinan atau kepercayaannya di kolom
KTP. Sehingga tidak terjadi perdebatan yang terus menerus karena ingin
menciptakan satu paham agar diterima oleh semua.
“Nanti kita tidak mengalami lagi
ada lebaran dua hari. Atau ada lebaran dimusyawarahkan bahkan di-voting
layaknya pemilihan AKD (alat kelengkapan dewan). Tetapi nanti kita bisa ikut
paham kita masing-masing tanpa harus ngurusin paham orang lain,” tegas
politikus Golkar ini.
Berbicara tentang kolom agama di
dalam KTP, kata Dedi, harus juga berbicara pada dua hal. Apakah kolom agama sebuah
keyakinan individu yang ada dalam setiap hati dan pikiran manusia, atau sekadar
paham keagamaan yang bersifat administrasi organisasi.
“Kalau
kata saya, yang namanya keyakinan itu enggak bisa dibaca dengan bahasa tulisan
dan tidak bisa diidentitaskan, sebab adanya di dalam hati dan pikiran. Yang
hafalnya pun tentu yang menguasai hati dan pikiran, bukan petugas Dinas
Kependudukan,” pungkas Dedi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar