Tajul Muluk, pemimpin komunitas
Syiah di Sampang, Madura, dipenjarakan setelah dituduh menodai agama.
|
Pemerintah Indonesia menyatakan diperlukan kajian mendalam terlebih dulu sebelum mencabut sebuah undang-undang di tengah desakan mencabut Undang-Undang Penodaan Agama.
"Baik untuk mengeluarkan sebuah
undang-undang baru maupun mencabut sebuah undang-undang, perlu ada kajian
akademis maupun empiris. Tidak hanya sekedar wacana saja dan dengan mudah
disampaikan pencabutan (undang-undang)," kata Dirjen Peraturan
Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Wicipto Setiadi, kepada wartawan
BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Hal itu dikemukakan Wicipto
menanggapi desakan lembaga pegiat hak asasi manusia, Amnesty International,
yang meminta pemerintah segera mencabut Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang
Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Undang-undang itu sebelumnya pernah
diajukan untuk uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada April 2010 oleh sejumlah
lembaga, termasuk Imparsial, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau ELSAM,
dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Namun, MK menolak permohonan uji
materi tersebut dengan alasan pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya
bahwa pasal-pasal tersebut melanggar konstitusi, mengancam kebebasan beragama,
dan bersifat diskriminatif serta berpotensi melakukan kriminalisasi terhadap
penganut agama minoritas.
Dipakai
lebih dari 100 kali
Peneliti Amnesty International,
Papang Hidayat, berpendapat Undang-Undang Penodaan Agama tidak sesuai dengan
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah
ditandatangani oleh pemerintah Indonesia.
"Selama Orde Baru,
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 sedikit sekali digunakan. Hanya ada 10 orang
yang dipidana menggunakan undang-undang ini. Namun, ketika Susilo Bambang
Yudhoyono menjabat sebagai presiden, antara 2004 dan 2014, angka pemidanaan
menggunakan undang-undang ini meningkat drastis menjadi 106 orang," ungkap
Papang.
Salah seorang mantan terpidana
akibat Undang-Undang Penodaan Agama ialah Arswendo Atmowiloto.
Pria itu pernah berkasus lantaran
mempublikasikan angket tokoh dalam tabloid Monitor pada 1990 lalu.
"Waktu itu saya merilis angket
yang membandingkan Nabi Muhammad dengan manusia biasa. Sebelumnya tidak pernah
ada penjelasan polling seperti itu bisa dianggap menghina. Padahal,
sebelumnya, majalah Tempo membuat polling yang kurang lebih sama, tak
kena apa-apa," ujarnya.
Arswendo mengatakan isi
Undang-Undang Penodaan Agama perlu dirinci lebih dalam.
"Mungkin harus dijelaskan
secara detail, mana yang blasphemy (menghujat), mana yang termasuk
penghinaan, dan mana yang tidak (termasuk dalam kategori tersebut). Kan bisa
ditafsirkan luas," kata Arswendo. (BBC)
UU yang pemberlakuannya belum merata bagi semua agama yang ada, masih terkesan diskriminasi
BalasHapus