“Sekarang tinggal kemauan politik pemerintah. Kalau mau, dua sampai tiga bulan selesai semua,” tegas Dandik Katjasungkana kepada Surya, Rabu (10/12/2014) kemarin.
Dokumen yang berisi nama para penculik itu, lanjut Dandik, sudah diserahkan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas) HAM pada Jokowi, Selasa (9/12/2014).
Penyerahan dilakukan bersamaan dengan peringatan Hari HAM Internasional yang dipusatkan di Istana Kepresiden di Yogyakarta.
Dokumen itu, menurut Dandik, merupakan hasil penyelidikan bertahun-tahun yang dilakukan oleh Komnas HAM.
Ada lebih dari 20 korban yang berhasil ditemukan jejak dan bukti-bukti secara detail.
Tujuh korban aktivis korban penculikan sudah dilepas. Sedang 13 aktivis lainnya hingga kini masih hilang.
Di antaranya mahasiswa Universitas Airlangga, Bimo Petrus dan Herman Hendrawan, yang diculik, Mei 1998 silam.
“Semua sudah sangat jelas, mulai dari komandannya siapa, pelakunya siapa, disekap di mana, dan lain-lain,” tegas Dandik.
Menurutnya, kasus itu mestinya tidak perlu berkepanjangan. Sebab dokumen itu sebelumnya juga disampaikan di masa pemerintahan SBY. Namun tidak ada tindak lanjutnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM , para penculik aktivis yang terjadi sebelum tahun 2000 itu semestinya bisa diadili di peradilan HAM ad hoc.
Pengadilan itupun mestinya bisa digelar di masa pemerintahan SBY.
Sebab, lanjut Dandik, sudah ada empat dokumen yang menjadi dasar untuk bisa digelar pengadilan HAM ad hoc.
Dua di antaranya, dokumen hasil penyelidikan Komnas HAM dan dokumen Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
“Komnas HAM sebagai satu-satunya lembaga yang punya wewenang melakukan penyelidikan pelanggaran HAM , bahkan sudah melengkapi berkasnya,” tegas Dandik.
Syarat lainnya sudah terpenuhi untuk menggelar pengadilan HAM ad hoc adalah rekomendasi dari DPR.
“Rekomendasi DPR ini juga sudah ada. Tepatnya lewat September 2009, yang dipimpian oleh Muhaimin Iskandar,” terangnya.
Berdasar rekomendasi tersebut, presiden seharusnya menerbitkan keputusan presiden tentang pengadilan ad hoc.
Tapi presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) belum pernah melaksanakan rekomendasi itu.
Nah dokumen dan berkas persayaratan menggelar pengadilan Ad-hoc itulah yang kemudian diserahkan pada Presiden Jokowi dalam peringatan Hari HAM, dua hari lalu.
Jika rekomendasi tersebut dilaksanakan oleh presiden, proses berikutnya tinggal Jaksa Agung bertindak.
Yaitu melanjutkan hasil penyelidikan Komnas HAM ke ke tahap penyidikan.
“Makanya kami tunggu. Kami juga akan terus ikut mendesak Jokowi untuk menggelar pengadilan HAM ad hoc itu,” kata Dandik.
Sejauh ini sinyal lewat pidatonya, Jokowi akan memakai dua cara, yaitu rekonsiliasi menyeluruh dan pengadilan HAM ad hoc.
Namun pernyataan itu masih bersifat umum, belum merespons dokumen Komnas HAM tersebut dan belum menyinggung kasus per kasus. (Surya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar