Oleh : Andry Laritembun
Kita dapat menyimak berbagai
pemberitaan belakangan ini terkait dengan situasi-situasi di Tanah Papua. Berbagai macam bentuk
kekerasan yang terjadi di Papua memang sangatlah memprihatinkan, bagaimana tidak ? Kalau setiap beberapa minggu kita sudah kembali mendengar atau bahkan
melihat ada korban nyawa terhadap
orang Papua.
Situasi ini mungkin bagi warga di luar Papua serasa kaget
dan terhentak, tetapi bagi warga pribumi Tanah Papua, persoalan tersebut sudah bukan hal yang baru, bagaimana tidak....?
Teror, intimidasi
dan segala bentuk kekarasaan di Tanah Papua merupakan sebuah fenomena yang setiap saat
mereka hadapi.
Pernahkah kita bertanya ada apa,
mengapa, bagaimana oleh siapa dan untuk apa serta lainnya, sehingga terjadi bentuk-bentuk kekerasan
tersebut...?
Hal yang sangat memprihatinkan, dimana bentuk kejahatan tersebut lebih banyak terjadi di daerah pedalaman dibanding dengan
daerah perkotaan atau pesisir semenanjung Cenderawasih. Daerah ini jauh dari pantauan media massa dan lembaga-lembaga yang ada di Papua. Pernahkah kita melihat bagaimana nasib saudara-saudara kita yang ada di
daerah pelosok tanah Papua tersebut....?
Ketika mereka berbicara atau bersuara tentang hak
mereka, maka
yang ada hanya isapan jempol, disertai
pernyataan “Anda
bagian dari separatis”, ini adalah stigma sosial yang secara langsung menyudutkan masyarakat Papua yang juga merupakan bagian dari anak bangsa.
Dengan stigma yang selalu
dilekatkan itu, maka jangan pernah salahkan rakyat Papua, ketika luka dan sakit hati itu dijadikan sebagai sebuah kekuatan rakyat yang
sangat besar, dan inilah yang terjadi saat ini, maraknya suara dan pekikan “Merdeka” merupakan bukti
nyata, kalau rakyat Papua ingin bebas
dan keluar dari segala bentuk diskriminasi yang dilakukan TNI-Polri yang lupa dirinya, bahwa mereka juga manusia sama serupa dengan masyarakat Papua.
Baru-baru ini kita semua dikejutkan
dengan penembakan
di Pania, tindakan
aparat tersebut adalah tindakan yang terkutuk, tindakan yang secara langsung
menyatakan ketidak sanggupan TNI-Polri dalam melakukan tugasnya. Tidak ada pendekatan secara nyaman, yang
terjadi hanyalah pendekatan dengan
kekerasan dan pembunuhan terhadap rakyat sipil di tanah Papua.
Ini merupakan kegagalan pengelolaan keamanan negara
yang dilakukan oleh TNI-Polri, dimana aparat tidak mampu melakukan pendekatan-pendekatan. Pada dasarnya, manusia ketika makin ditekan, maka dia akan semakin memberontak, dan kini kita telah melihat, dimana situasi gejolak politik,
kekerasan, teror, intimidasi, penyiksaan dan kematian warga sipil di tanah Papua sudah
berada pada stadium
tingkat tinggi. Ini adalah kegagalan aparat negara dalam merangkul rakyat Papua, sebagai bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia, malah yang ada hanyalah menambah virus kebencian rakyat Papua terhadap negara ini.
Dari setiap pergantian pemimpin ke
pemimpin kita berharap, agar ada perubahan yang lebih baik, namun sebaliknya, seakan menjadi tradisi siasat kebudayaan TNI-Polri. Masih banyak bentuk
kekerasan yang terjadi, bahkan di segala bidang jika kita cermati secara baik. Namun yang menjadi dasar
dari sebuah perjuangan rakyat Papua pada saat ini, adalah bukan semata perjuangan politik untuk mendapatkan hak sebagai anak bangsa yang sama
dengan masyarakat suku lainnya yang ada di negara ini. Tapi
ironisnya merupakan perjuangan idealisme yang lahir dari sebuah tekanan dan segala bentuk diskriminasi.
Bagi kami, ini adalah sebuah
teguran rakyat yang sangat keras kepada pemimpin nasional Presiden Joko Widodo beserta seluruh
kelengkapan negara ini, agar segera memperbaiki sikap. Jika negara ini dapat merefleksi perjalan panjang masyarakat Papua dengan
segala latar belakang berbagai peristiwa dan
telah menelan korban
jiwa yang
bukan sedikit, ini merupakan bagian dari persoalan-persoalan sejarah politik
masa lalu alias “Pepera” yang bagi orang Papua persoalan itu belum tuntas. Sejarah “Pepera” merupakan dasar berbagai persoalan dari seluruh rentetan peristiwa
berdarah yang terjadi di Tanah Papua sejak tahun1960-an sampai saat ini.
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 digelar
tak relevan dengan perjanjian The New
York Agreement dan The Roma Agreement yang menyatakan one man one vote (satu orang satu suara), tapi dalam
pelaksanaannya,
penguasa pemerintahan
Indonesia menggunakan sistem
perwakilan “One man
one delegation”.
Pelanggaran HAM di Papua Barat belum
pernah berakhir sampai saat ini. Sejak 1963 masyarakat Papua Barat dianeksasikan oleh Indonesia, orang Papua Barat
terus dibantai seperti halnya binatang.
Kekerasan 3 tahun terakhir ini,
negara melakukan
kekersan melalui TNI-Polri. Pembungkaman ruang
demokrasi,
pembunuhan kilat, penangkapan sewenag-wenang sejak tahun 2012 sampai dengan tahun
2014 meningkat
di Papua Barat.
Menjelang perajaan Hari Natal 25
Desember dan Peringati Hari HAM Sedunia
10 Desember 2014, Polisi terus melakukan
penembakan terhadap rakyat sipil. Penembakan terhadap 5 warga sipil dan 22
orang terluka sedang dirawat di Paniai.
Pembunuhan massal terhadap rakyat
sipil yang dilakuan oleh kepolisian merupakan kejahatan Negara. Penembakan 5 warga
sipil pada tanggal 08 Desember
2014 di Paniai tidak dapat
dibenarkan degan alasan apa pun, polisi tidak harus melakukan penembakan
terhadap rakyat sipil,
karena mereka tidak memiliki senjata, mereka hanya rakyat biasa yang harus
dilindungi oleh kepolisian sebagai pengayom dan pelindung rakyat.
Setiap menjelang perayaan hari Natal, Polisi terus melakuan penembakan terhadap
rakyat sipil dan pembela HAM di Papua Barat, pembunuhan massal terhadap rakyat
sipil pada hari Senin
08 Desember 2014 di Paniai
merupakan kado Natal yang diberikan oleh Polda Papua dan pemerintahan Jokowi
kepada rakyat Papua.
Kado Natal bagi rakyat Papua pernah
terjadi beberapa tahun lalu, pada
tahun 2000 tanggal 10 November 2000,
tokoh Papua Theys H Eluay dibunuh oleh Kopassus. Kemudian pada
tanggal 16 Desember
2009, pejuang keadilan (Almarhum) Kelly Kwalik dibunuh
oleh Densus 88 dan polisi di Timika. Kemudian pada tanggal 16 Desember 2012, Hubertus Mabel Ketua Komisariat KNPB
Pusat dibunuh di Wamena.
Pada tanggal 19 Polres Dogiyai menembak 3 anggota KNPB
dan melakukan penangkapan sewenang-wenanp terhadap 12 aktivis KNPB Dogiai dan
13 aktivis KNPB, kemudian 15 orang dibebaskan 3 hari kemudian 10 orang masih ditahan
sampai saat ini.
Kado Natal oleh pemerintahan Jokowi-JK tahun 2014, TNI-Polri menembak
mati 5 orang dan 22 orang terluka di Paniai . Hal ini
merupakan pemusnahan “Ras
Melanesia”
dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Polda Papua dari tahun ke Tahun.
Kepolisian Daerah Polda
Papua, terus melakukan
kekerasan di Papua Barat, kami menilai semua kekerasan di Papua aktornya adalah Polda Papua. Tidakan
aparata Kepolisian terhadap rakyat sipil benar-benar tidak manusiawi. Polda Papua harus
bertanggungjawab atas tindakan aparatnya di Paniai. (WARA)
Hormat kk tn, izin share
BalasHapusSanggat benar dan sanggat penting...
BalasHapusTerimakasih atas pengertiannya. Dan untuk ruang Demorasi bangsa Rakyat West Papua.
BalasHapus