Polisi memperketat penjagaan di Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sejak Jumat (16/1/2015) menjelang eksekusi mati sejumlah terpidana narkotika pada Minggu (18/1) |
Jakarta - WARA - Keputusan
Presiden Joko Widodo untuk mengeksekusi mati enam terpidana kasus narkotika,
Minggu (18/1/2015), menuai beragam reaksi. Ada yang mengapresiasi karena
dianggap sebagai upaya memerangi narkoba, tak sedikit pula yang mengecam.
Mereka yang mengecam eksekusi mati tak percaya langkah itu bisa memerangi
kejahatan narkotika. Jokowi
disebut melakukan pencitraan melalui eksekusi mati.
Pencitraan
Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menilai, kebijakan Jokowi terkait eksekusi mati hanya pencitraan. Di tengah kebijakan yang tak populer, silang sengkarut penunjukan Budi Gunawan sebagai Kapolri, Jokowi, kata Poengky, ingin mengatrol citranya di mata publik. Salah satunya dengan menunjukkan seolah-olah dia tegas dengan menembak mati enam terpidana mati.
"Kenapa di hari ke-91 menjabat presiden, bahkan belum 100 hari, dia sudah melumuri tangannya dengan darah melalui eksekusi mati? Apa lagi kalau bukan pencitraan," ujar Poengky di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/1/2015).
Poengky mengatakan, berkaca dari pengalaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, eksekusi mati dilakukan ketika Presiden butuh pamor naiknya.
"Ini tendensinya ngejar popularitas biar naik, bahwa seolah-olah pemerintahannya tegas, mampu mengatasi kejahatan narkotika dan lain-lain. Padahal, tidak sama sekali," ujar dia.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar juga memiliki penilaian yang sama. Menurut dia, eksekusi mati terpidana kasus narkotika akan berimbas buruk pada penyelesaian kasu itu sendiri. Sebab, kebanyakan yang ditembak mati adalah kurir, bukan gembong besar.
"Kalau kurir dihukum mati, menghilangkan informasi soal siapa bandar besarnya kan? Oleh sebab itu, patut diduga bahwa eksekusi mati hanya akal-akalan untuk melindungi bandar besar narkoba itu sendiri," ujar dia.
Direktur Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, tidak ada korelasi antara eksekusi mati dengan penurunan kasus kejahatan narkotika. Menurut Bonar, yang seharusnya dilakukan pemerintahan Jokowi adalah perbaikan manajemen serta sumber daya manusia hukum, bukan mengambil jalan pintas mengeksekusi para terpidana.
Laporan World Bank soal kualitas hukum di Indonesia yang dikutip Komnas HAM, Indonesia berada di peringkat 3,56 dari skala 1 sampai 10. Peringkat tersebut jauh di bawah negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Menurut Bonar, tembak mati menggambarkan kegagalan suatu negara di dalam membina narapidananya.
Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya berfungsi agar napi menyesal dan menjadi orang baik, tak menjalankan fungsinya dengan baik. Yang terjadi justru pelanggaran baru mulai jual beli narkotika hingga suap menyuap napi dengan sipir.
"Saya lihat presiden tidak punya Pengalaman memadai soal HAM. Celakanya, anak buahnya mendukung, bahkan mereka bilang hukuman mati itu bukti ketegasan pemerintah. Ini sungguh terbalik logikanya," ujar dia.
Canggung di arena HAM internasional
Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menganggap, eksekusi mati yang baru dilaksanakan menunjukkan inkonsistensi pemerintahan Jokowi. Di satu sisi, menurut dia, Pemerintah Indonesia mengupayakan perlindungan bagi 267 warga negara negaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri. Namun, di sisi lain, pemerintah mengeksekusi mati warga negara asing.
"Ini akan membuat Jokowi canggung ketika ia tampil di arena HAM internasional. Saya tidak membayangkan saat Jokowi duduk semeja dengan Presiden Brazil, Belanda dan presiden yang warga negaranya dieksekusi mati di Indonesia," ujar Ricky.
Ia menyebutkan, salah satu asas pergaulan internasional adalah hubungan timbal balik, di mana suatu negara akan memperlakukan suatu negara sesuai dengan perlakuan negara itu sendiri. Jokowi pun tak etis jika berupaya membebaskan WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri.
"Artinya apa? Artinya Jokowi tidak akan punya legitimasi apa pun untuk berbicara terkait penegakan HAM dengan negara-negara itu," kata dia.
Imparsial, Kontras, Setara Institute, Komnas HAM serta sejumlah lembaga pegiat hak asasi manusia mendesak pemerintah melakukan moratorium eksekusi mati. Selain itu, pemerintah juga diharapkan membenahi manajemen hukum di Indonesia. Para pegiat HAM juga meminta DPR RI menghapus eksekusi mati dalam undang-undang.
"Kami juga perang melawan kejahatan narkotika, tapi bukan dengan eksekusi mati," ujar Poengky.
Seperti diberitakan, Kejagung telah menembak mati enam terpidana mati kasus narkotika pada 18 Januari lalu. Dari enam terpidana itu, satu orang warga negara Indonesia, dan lima lainnya warga negara asing. (KOMPAS.com)
Pencitraan
Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menilai, kebijakan Jokowi terkait eksekusi mati hanya pencitraan. Di tengah kebijakan yang tak populer, silang sengkarut penunjukan Budi Gunawan sebagai Kapolri, Jokowi, kata Poengky, ingin mengatrol citranya di mata publik. Salah satunya dengan menunjukkan seolah-olah dia tegas dengan menembak mati enam terpidana mati.
"Kenapa di hari ke-91 menjabat presiden, bahkan belum 100 hari, dia sudah melumuri tangannya dengan darah melalui eksekusi mati? Apa lagi kalau bukan pencitraan," ujar Poengky di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/1/2015).
Poengky mengatakan, berkaca dari pengalaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, eksekusi mati dilakukan ketika Presiden butuh pamor naiknya.
"Ini tendensinya ngejar popularitas biar naik, bahwa seolah-olah pemerintahannya tegas, mampu mengatasi kejahatan narkotika dan lain-lain. Padahal, tidak sama sekali," ujar dia.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar juga memiliki penilaian yang sama. Menurut dia, eksekusi mati terpidana kasus narkotika akan berimbas buruk pada penyelesaian kasu itu sendiri. Sebab, kebanyakan yang ditembak mati adalah kurir, bukan gembong besar.
"Kalau kurir dihukum mati, menghilangkan informasi soal siapa bandar besarnya kan? Oleh sebab itu, patut diduga bahwa eksekusi mati hanya akal-akalan untuk melindungi bandar besar narkoba itu sendiri," ujar dia.
Direktur Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, tidak ada korelasi antara eksekusi mati dengan penurunan kasus kejahatan narkotika. Menurut Bonar, yang seharusnya dilakukan pemerintahan Jokowi adalah perbaikan manajemen serta sumber daya manusia hukum, bukan mengambil jalan pintas mengeksekusi para terpidana.
Laporan World Bank soal kualitas hukum di Indonesia yang dikutip Komnas HAM, Indonesia berada di peringkat 3,56 dari skala 1 sampai 10. Peringkat tersebut jauh di bawah negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Menurut Bonar, tembak mati menggambarkan kegagalan suatu negara di dalam membina narapidananya.
Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya berfungsi agar napi menyesal dan menjadi orang baik, tak menjalankan fungsinya dengan baik. Yang terjadi justru pelanggaran baru mulai jual beli narkotika hingga suap menyuap napi dengan sipir.
"Saya lihat presiden tidak punya Pengalaman memadai soal HAM. Celakanya, anak buahnya mendukung, bahkan mereka bilang hukuman mati itu bukti ketegasan pemerintah. Ini sungguh terbalik logikanya," ujar dia.
Canggung di arena HAM internasional
Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menganggap, eksekusi mati yang baru dilaksanakan menunjukkan inkonsistensi pemerintahan Jokowi. Di satu sisi, menurut dia, Pemerintah Indonesia mengupayakan perlindungan bagi 267 warga negara negaranya yang terancam hukuman mati di luar negeri. Namun, di sisi lain, pemerintah mengeksekusi mati warga negara asing.
"Ini akan membuat Jokowi canggung ketika ia tampil di arena HAM internasional. Saya tidak membayangkan saat Jokowi duduk semeja dengan Presiden Brazil, Belanda dan presiden yang warga negaranya dieksekusi mati di Indonesia," ujar Ricky.
Ia menyebutkan, salah satu asas pergaulan internasional adalah hubungan timbal balik, di mana suatu negara akan memperlakukan suatu negara sesuai dengan perlakuan negara itu sendiri. Jokowi pun tak etis jika berupaya membebaskan WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri.
"Artinya apa? Artinya Jokowi tidak akan punya legitimasi apa pun untuk berbicara terkait penegakan HAM dengan negara-negara itu," kata dia.
Imparsial, Kontras, Setara Institute, Komnas HAM serta sejumlah lembaga pegiat hak asasi manusia mendesak pemerintah melakukan moratorium eksekusi mati. Selain itu, pemerintah juga diharapkan membenahi manajemen hukum di Indonesia. Para pegiat HAM juga meminta DPR RI menghapus eksekusi mati dalam undang-undang.
"Kami juga perang melawan kejahatan narkotika, tapi bukan dengan eksekusi mati," ujar Poengky.
Seperti diberitakan, Kejagung telah menembak mati enam terpidana mati kasus narkotika pada 18 Januari lalu. Dari enam terpidana itu, satu orang warga negara Indonesia, dan lima lainnya warga negara asing. (KOMPAS.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar