Banda Aceh - WARA - Ini adalah tulisan Rosnida Sari, dosen
IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh yang dimuat Australia Plus.
Dia menulis terkait kegiatan mahasiswinya mengunjungi gereja di Banda Aceh. Kunjungan
yang tak biasa itu diilhami pengalamannya belajar di Universitas Flinders,
Australia Selatan.
Berikut ini tulisan lengkap Rosnida:
Saya
mempunyai pengalaman yang sangat berkesan dengan mahasiswa-mahasiswi saya.
Semester ini salah satu mata pelajaran yang saya asuh adalah Study Gender dalam
Islam.
Sepertinya
menarik jika mahasiswa yang semuanya Islam ini belajar juga tentang bagaimana
agama lain melihat relasi laki-laki dan perempuan di agama mereka.
Niat untuk
membawa mahasiswa ini karena saat berada di Adelaide, saya banyak berteman
dengan teman lokal. Bahkan saya sempat tinggal bersama keluarga lokal selama
tiga bulan di Flagstaff Hill, Australia Selatan.
Saat berteman
dengan teman-teman lokal ini saya sering datang memenuhi undangan mereka
seperti BBQ, piknik bahkan house warming party. Ketika mereka tahu saya
beragama Islam dan senang mengunjungi gereja-gereja, mereka berkata bahwa
mereka malah tidak pernah mengunjungi mesjid, dan mereka ingin berkunjung ke
mesjid suatu saat. Sayangnya, sampai saya kembali ke Aceh, niat itu tidak
terealisasikan.
Ketika saya
tinggal bersama keluarga lokal, saya juga sempat datang mengikuti beberapa
kegiatan gereja yang digawangi oleh ibu. Ibu giat melakukan kegiatan charity
seperti membuat club merajut bagi para perempuan di lingkungannya. tujuannya
adalah sebagai tempat berkumpul bagi para perempuan untuk berbagi cerita.
Begitu juga sebagai wadah bagi para pendatang baru di lingkungan yang dekat
dengan gerejanya, seperti para pendatang dari Rumania atau Vietnam, yang
mungkin belum mempunyai kenalan di lingkungan tersebut.
Dengan mengikuti
klub merajut ini, ibu dan teman-temannya dari komunitas lokal bisa membantu
para pendatang baru ini tadi, yang bisa jadi belum bisa berbahasa Inggris atau
belum mempunyai perlengkapan rumah tangga, seperti sofa atau meja makan.
Peralatan ini, terkadang diberikan dengan cuma-cuma oleh anggota gereja.
Ayah juga
bukan laki-laki sembarangan. Ia pernah menjadi ketua Rotary chapter Adelaide
bagian selatan. Ketika berada di Flagstaff Hill, saya sempat mengikuti dua kali
kegiatan Rotary, penggalangan dana dengan cara penjualan lukisan dan interfaith
dialogue dengan komunitas Ahmadiyah. Selain itu beliau juga pernah menjadi
semacam bupati di salah satu wilayah di Australia Selatan pada akhir tahun
70-an hingga awal tahun 80-an.
Kesempatan untuk
bisa berinteraksi dengan Australia, khususnya Adelaide tidak terlepas dari
beasiswa yang saya dapatkan dari pemerintah Aceh untuk melanjutkan study saya
di Flinders University. Pemerintah Aceh memberikan beasiswa bagi guru dan dosen
yang selamat dari musibah tsunami 2004.
Saya tercatat
sebagai seorang dosen baru pada tahun 2006 sehingga berhak untuk ikut tes
mendapatkan beasiswa ini. Salah satu negara yang memberikan sumbangan sehingga
menjadi beasiswa adalah Australia.
Berdasarkan
pengalaman tersebut saya lalu mencoba mencoba menjadi 'jembatan' perdamaian
bagi umat Kristiani dan Islam di kota saya sekarang, Banda Aceh. Saya kira
sudah saatnya saya 'membalas' kebaikan mereka dengan menjadi semacam 'pembawa
damai' untuk agama dan budaya yang berbeda ini.
Kembali ke
cerita gereja, karena pendeta di salah satu gereja di Banda Aceh ini adalah
teman saya, maka sayapun melakukan pendekatan dan mengatakan bahwa saya ingin
membawa mahasiswa untuk berkunjung ke gereja.
Selain untuk tau
tentang relasi laki-laki dan perempuan di agama mereka, saya juga ingin agar
tidak ada ketidaknyamanan mahasiswa pada mereka yang beragama berbeda.
Tujuannya tentu saja agar terjadi kesalingpahaman diantara mereka,
menghilangkan prasangka yang sudah dibentuk oleh media (Koran dan TV) atau saat
mendengar perbincangan orang lain.
Dengan mendengar
langsung dari pak pendeta dan tentunya pemeluk agama Kristen itu secara
langsung, saya harap para mahasiswa ini bisa bertanya langsung sehingga
memahami hal-hal yang berkaitan dengan agama Nabi Isa ini.
Awalnya saya
khawatir mereka tidak mau datang dengan alasan hujan yang amat lebat atau
karena tidak nyaman (takut) untuk datang ke gereja. Buktinya adalah: ketika
saya tawarkan hal ini pada kelas yang lain, mahasiswa di kelas tersebut
ogah-ogahan menjawab. Dari sekitar 26 orang, hanya 3 yang mengatakan ya. Sisanya,
ada yang senyum kecut dan menggelengkan kepala.
Tapi ternyata
mahasiswa dari kelas gender ini sangat antusias. Beberapa kali di antara mereka
menelpon bertanya bagaimana sampai ke gereja.
Saya memang
menyediakan diri untuk datang terlebih dahulu. Selain agar bisa menyambut
mereka di situ, juga agar mereka nyaman bahwa ada seseorang yang telah mereka
kenal yang ada di tempat asing tersebut.
Lagi-lagi, saya
khawatir mahasiswa saya tidak mau bertanya ketika pak pendeta menyelesaikan
memaparnya. saya mempersiapkan beberapa pertanyaan dan saya minta beberapa
mahasiswa bertanya dengan pertanyaan yang telah saya siapkan tadi.
Tapi ternyata,
setelah pak pendeta menyelesaikan paparannya, beberapa mahasiswa malah bertanya
dengan pertanyaan mereka sendiri. Artinya mereka juga berminat untuk tau lebih
jauh tentang agama Kristen dan pertanyaan mereka direspon langsung oleh
penganut agama tersebut.
Saat pulang,
saya menyapa seorang mahasiswa yang bajunya terlihat basah, akibat kehujanan.
Dia katakan bahwa dia bukan dari kelas Gender saya, melainkan dari kelas lain
yang saya asuh. Ia katakan bahwa ia juga memberitahu teman-temannya dari kelas
lain tersebut untuk datang dan ia sangat tertarik dengan apa yang telah ia
dengar di dalam gereja tersebut.
Apa yang saya
pelajari dari kejadian ini adalah: Tenyata mahasiswa saya tidak begitu kaku
untuk datang ke gereja. nyatanya mereka begitu antusias untuk datang. Bagi
sebagian muslim, masuk rumah ibadah agama lain adalah sesuatu yang dilarang,
tapi saya tidak melihat ini dari mahasiswa saya.
Beberapa
mahasiswa saya begitu bersemangat dan antusias untuk mendapatkan ilmu tentang
agama yang berbeda. Ini terlihat dari banyaknya pertanyaan yang mereka
tanyakan. Meski ada juga mahasiswa yang hanya menjadi pendengar
Saya harap
langkah kecil ini bisa menjadi langkah yang lebih besar lagi di masa depan.
Saya sangat antusias untuk ini, karena ketika kembali ke ruang kelas, beberapa
mahasiswa bertanya kapan mereka bisa datang berkunjung ke rumah ibadat agama
lain yang ada di Banda Aceh. (Tribun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar