Dalam sejarah yang disusun oleh Orde Baru, Gerakan 30 September (G30S) digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan yang dipimpin oleh Kolonel Untung itu dituding berniat merebut kekuasaan pemerintahan yang sah.
Namun, tudingan itu tidak pernah terbukti. Bahkan pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), yang mengadili pentolan G30S dan tokoh-tokoh PKI, gagal membuktikan tuduhan tersebut. Malahan, berbagai kesaksian dan penelitian terbaru mengenai peristiwa tersebut justru membantah tudingan tersebut.
Kini, setelah Orba runtuh, perlahan-lahan kebenaran terkuak. Keabsahan Soeharto sebagai ‘pahlawan’ dalam kejadian tersebut mulai dipertanyakan. Belakangan, ada banyak analisa yang mengaitkan Soeharto dalam G30S tersebut.
Dari berbagai analisa itu, saya menyimpulkan ada tiga hal yang cukup mendasar. Pertama, Soeharto sudah mengetahui rencana G30S. Kedua, beberapa aktor kunci G30S adalah anak buah atau, setidaknya, dikenal sebagai ‘orang dekat’ Soeharto. Ketiga, G30S hanya dalih bagi Soeharto untuk menghabisi PKI dan menggulung kekuasaan Soekarno.
Yang pertama jelas menarik. Informasi bahwa Soeharto sudah mengetahui rencana G30S berasal dari Kolonel Abdul Latief, salah seorang aktor penting dalam G30S. Dalam pledoinya Kolonel Latif mengungkapkan, dua hari sebelum peristiwa Gestok, Ia dan keluarganya mengunjungi keluarga Soeharto. Saat itu, ia sempat menanyakan isu Dewan Jenderal kepada Soeharto. Soeharto mengaku sudah mendengar isu itu dari anak-buahnya dari Jogja bernama Subagyo. Soeharto menyatakan akan dilakukan penyelidikan.
Reaksi dingin Soeharto menimbulkan tanda-tanya. Sebagai Panglima Kostrad, yang bertanggung-jawab atas keselamatan pemerintahan dan Presiden, Soeharto seharusnya bereaksi aktif terkait laporan tentang rencana kudeta Dewan Jenderal itu.
Selain itu, dalam buku seorang penulis AS, Arnold Brackman, yang berjudul The Communist Collapse in Indonesia, diungkapkan wawancara dengan Soeharto di tahun 1986. Dalam wawancara itu Soeharto mengatakan, dua hari sebelum 30 September 1965, anak laki-lakinya yang berusia 3 tahun ketumpahan sup panas dan dibawah ke rumah sakit. Pada malam 30 September, banyak rekan-rekan Soeharto yang menjenguk, termasuk Kolonel Latief. Menurut Soeharto, kedatangan Latief malam itu, hanya beberapa jam menjelang kejadian, adalah untuk menanyakan kesehatan anaknya.
Namun, Latief membantah itu dalam pledoinya. Menurutnya, kunjungannya ke rumah sakit, selain untuk menjenguk anak Soeharto yang terkena musibah, juga untuk “melaporkan akan adanya gerakan pada besok pagi harinya untuk menggagalkan rencana Coup D’etat dari Dewan Jendral.” Dan, kata Kolonel Latif, inisiatif Latief melapor ke Soeharto itu direstui Kolonel Untung dan Brigjend Soepardjo.
Keterangan Kolonel Latief ini tidak berubah. Namun, penjelasan Soeharto terhadap pertemuan itu justru berubah-ubah. Pada tahun 1970, dalam wawancara dengan majalah Der Spiegel Jerman, Soeharto kembali menceritakan kisah pertemuan itu. Saat itu ia ditanyai oleh wartawan begini: “Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?”
Soeharto kemudian menjawab: “Pada jam 11.00 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat umum.”
Jelas, keterangan Soeharto berubah-ubah. Sementara keterangan Kolonel Latief tidak berubah. Dengan sendirinya, kita bisa menyimpulkan siapa yang telah mengarang kebohongan. Selain itu, jawaban Soeharto dalam wawancara dengan wartawan Der Spiegel juga tidak masuk akal. Dalam teori manapun, tidak masuk akal seorang perancang gerakan membuat aksi menghebohkan, yakni membunuh, hanya beberapa jam sebelum aksi sebenarnya akan dimulai.
Namun, dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan. Satu, Soeharto mengetahui perihal rencana sejumlah perwira Angkatan Darat untuk melancarkan gerakan kontra-kudeta terhadap Dewan Jenderal. Dua, kendati Soeharto mengetahui gerakan tersebut, tetapi ia tidak mengambil langkah atau tindakan untuk mencegah gerakan itu.
Yang kedua juga cukup menarik. Beberapa analisa sejarah menunjukkan bahwa Soeharto punya hubungan dekat dengan para pelaku G30S, seperti Kolonel A Latif, Kolonel Untung, dan Sjam Kamaruzzaman. Baiklah, kita akan membahasnya satu per satu.
Mengenai hubungan Kolonel Latif dan Soeharto, saya mencoba merujuk pada dua kesaksian, yakni Subandrio dan AM Hanafie. Subandrio adalah Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen di saat peristiwa G30S terjadi. Sedangkan AM Hanafie adalah bekas aktivis pemuda revolusioner di Menteng 31, yang pada saat kejadian ditunjuk oleh Bung Karno sebagai Dubes di Kuba.
Menurut Subandrio, Kolonel Latief adalah bekas anak buah Soeharto semasa di Kodam Diponegoro. Soeharto dan Latief sudah saling-kenal semasa masih di Jogjakarta. Kata Subandrio, Latief memegang rahasia skandal Soeharto saat serangan umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta. Menurut cerita Latief, sementara pasukan kompinya menyabung nyawa melawan tentara Belanda, Soeharto malah sedang santai makan soto babat.
Pasca kejadian itu, Soeharto-Latief berada di kesatuan berbeda. Soeharto di Pangkostrad, sedangkan Latief menjadi komandan Brigade Infanteri I Jayasakti Kodam Jaya. Karena posisi Latief cukup stategis, yakni penanggung-jawab keamanan Jakarta, Soeharto kembali membangun hubungan dengan Latief. Soeharto mengunjungi Latief dan keluarganya saat ada acara khitanan anaknya.
Dalam pledoinya Latief juga mengaku kedekatannya dengan Soeharto. “Memang saya pribadi adalah bekas anak buah beliau (Soeharto) sewaktu menjabat sebagai Dan Kie 100 yang langsung organisatoris dan taktis pada Brigade X pada waktu jaman gerilya,” kata Latief. Di bagian lain, Latief menambahkan, “Saya sebagai anak buah sekalipun sudah terlepas dalam ikatan komando dengan Bapak Jendral Soeharto di manapun beliau berada selalu saya temui. Dengan sendirinya timbul keakraban secara kekeluargaan di luar dinas.” Bahkan, menurut pengakuan Hanafie, karena rumah Soeharto terlalu kecil, ia beberapa kali mengupayakan rumah untuk Soeharto.
Sementara versi AM Hanafie, dalam bukunya AM Hanafie Menggugat, menyatakan bahwa Latief adalah bekas anggota Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Pada saat peristiwa Madiun 1948 meletus, Latief berhasil meloloskan diri. Akhirnya, pasca kejadian, Latief menggabungkan pasukannya di bawah batalyon Overste Soeharto. Sejak itulah Latief menjadi anak buah Soeharto.
Kemudian relasi Soeharto dan Kolonel Untung. Di sini, saya merujuk pada tiga kesaksian: Subandrio dan Kolonel Latief. Menurut Subandrio dalam bukunya Kesaksianku Tentang G30S menceritakan bahwa Untung juga adalah anak buah Soeharto semasa di Divisi Diponegoro. Sekitar tahun 1950-an, keduanya pisah kesatuan. Namun, di tahun 1962, mereka disatukan lagi, yakni dalam rangka pembebasan Irian Barat. Saat itu, Soeharto bertindak sebagai Panglima Komando Mandala untuk pembebasan Irian Barat, sedangkan Untung menjadi anak-buahnya di garis depan. Saat itulah Untung dikenal sebagai tentara pemberani. Ia memimpin kelompok pasukan kecil bertempur di hutan belantara Kaimana.
Pasca itu, kata Subandrio, Soeharto dan Untung pisah lagi. Soeharto menjadi Pangkostrad. Sedangkan untuk ditarik Bung Karno menjadi salah komandan kawal pasukan Tjakrabirawa. Namun, ungkap Subandrio, tugas baru Untung itu membuat Soeharto marah. Sebab, Soeharto ingin merekrut Untung menjadi anak-buahnya di Kostrad. Kendati demikian, Soeharto tetap memelihara Untung. Ketika Untung menikah di Kebumen, Soeharto dan istrinya menyempatkan datang.
Kolonel Latif dalam pledoinya juga mengakui kedekatan Soeharto dan Untung tersebut. “Letkol Untung pun juga pernah menjadi anak buah langsung (Soeharto) sewaktu di daerah Korem Sala yang kemudian Letkol Untung terpilih sebagai salah seorang pimpinan Gerilyawan yang diterjunkan di Kaimana sewaktu Trikora,” ungkap Latief.
Lalu, ia menambahkan, “Pernah saya dengar dari pembicaraan Letkol Untung sendiri sewaktu selesai tugas Trikora ia dipindahkan ke Resimen Cakrabirawa, ia katakan dengan peristiwa itu Jendral Soeharto pernah marah-marah atas kepindahannya ke Resimen Cakra itu, karena ia akan ditarik sebagai pasukan Kostrad di bawah pimpinan beliau. Selain itu sewaktu Letkol Untung menjadi temanten di Kebumen Jendral Soeharto juga memerlukan datang untuk turut merayakan pesta perkawinan.”
Yang menarik dari kesaksian Subandrio, bahwa pada tanggal 15 September 1965, Kolonel Untung mendatangi Soeharto. Ia menyampaikan perihal rencana kup oleh Dewan Jendral. Karena itu, ia menyampaikan kepada Soeharto, bahwa pihaknya punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menangkap mereka lebih dulu.
Soeharto menyambut baik rencana Untung itu. “Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,” kata Soeharto, sebagaimana dituturkan oleh Subandrio. Malahan, Soeharto menjanjikan bantuan pasukan untuk mendukung gerakan Untung itu.
Dan sekarang relasi Soeharto dan Sjam Kamaruzzaman. Menurut cerita AM Hanafie, Soeharto mengenal baik Sjam sejak di Jogjakarta. Sjam dikenal sebagai anggota Pemuda Pathuk. Ini adalah kelompok pemuda revolusioner hasil didikan Djohan Sjahroezah, seorang aktivis sosialis. Kelompok pemuda inilah yang memprakarsai aksi penyerbuan markas Jepang di Jogjakarta. Kelompok ini pula yang mendorong Sri Sultan Hamengku Buwono dan seorang anggota BKR bernama Soeharto untuk berdiplomasi dengan Jepang agar menyerahkan senjata. Sejak itu, Hanafie meyakini, Soeharto sudah mengenal Sjam. Saat itu Sjam masih dikenal dengan nama: Syamsul Qamar Mubaidah.
Pasca kejadian itu, Sjam pindah ke Semarang dan bergabung dengan AMKRI-nya Ibnu Parna. Kemudian, ia menjadi informan polisi pada Komisaris Polisi Mudigdo di Pekalongan. Sjam juga pernah hadir di Konferensi Pesindo di Surakarta. Ia mewakili pemuda Laskar PAI (Partai Arab Indonesia). Ketika peristiwa Madiun meletus, Sjam menghilang. Tidak ada yang tahu dia dimana saat kejadian itu.
Dari Wikana, seorang tokoh PKI, Hanafie mendapat cerita bahwa Sjam lari ke Jakarta. Tepatnya ke Tanjung Priok. Di sana ia ditemukan oleh Hadiono Kusumo Utoyo, seorang tokoh pro-Sjahrir. Lalu, atas anjuran Hadiono, Sjam mengorganisir serikat buruh bernama SBKP (Serikat Burub Kapal dan Pelabuhan). Dari sinilah Sjam berkenalan dengan Aidit dan MH Lukman.
Namun, kata Hanafie, gara-gara razia Sukiman–razia terhadap orang-orang komunis, Sjam menghilang lagi. Menurut Hanafir, yang mendapat cerita dari Wikana, pasca kejadian itu Sjam menjadi informan SESKOAD dengan pangkat Sersan Mayor. Saat itu, Soeharto juga ditempatkan di SESKOAD pasca mendapat sanksi karena terlibat bisnis penyelundupan. Di sini, Sjam dan Soeharto kembali dipertemukan.
Di sini, kita mendapatkan adanya klik antara Soeharto-Untung-Latief-Sjam. Subandrio sendiri dalam kesaksiannya menyebut Soeharto membangun dua klik, yakni klik yang dikorbankan (Soeharto-Latief-Untung) dan trio yang dilanjutkan (Soeharto-Yoga Soegama- Ali Moertopo). Dari situ, kita bisa melihat, dua klik inilah yang dimainkan Soeharto. Klik ‘Untung-Latief-Sjam’ dipakai Soeharto untuk membuat gerakan kontra-kudeta yang dirancang gagal. Sedangkan klik ‘Soeharto-Yoga Soegama-Ali Moertopo’ dipakai untuk menumpas G30S, lalu menumpas PKI, dan kemudian menggulung kekuasaan Soekarno.
Kesaksian Sjam di Mahmilub jelas-jelas menguntungkan Soeharto. Di situ Sjam membeberkan bahwa semua tindak-tanduknya, termasuk dalam mengorganisir Dewan Revolusi, adalah atas persetujuan dan perintah DN Aidit. Hal itu dibutuhkan Soeharto untuk memperkuat dalihnya menumpas PKI sebagai otak G30S.
Dari dua hal di atas, kita menjadi terang untuk memahami kesimpulan ketiga di atas, bahwa G30S hanya dalih bagi Soeharto untuk menghabisi PKI dan menggulung kekuasaan Soekarno. Kita menjadi tahu kenapa Soeharto tidak dijadikan sasaran penculikan oleh G30S, karena hampir semua otak G30S adalah anak buah Soeharto sendiri. Selain itu, pada tanggal 1 Oktober 1965, markas Kostrad tidak dijaga oleh pasukan ‘G30S’.
Pertama, Soeharto mengetahui rencana G30S, tetapi tidak berusaha menghentikannya. Dengan mengetahui rencana itu, Soeharto menjadi aktor yang paling paham keadaan dan paling ‘siap’ untuk memainkannya. Dengan membiarkan rencana G30S berjalan, itu sama saja dengan merestui pembunuhan para Jenderal, termasuk Jenderal A Yani yang saat itu menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Sementara ada konsensus di AD saat itu, bahwa bila Menpangad berhalangan, maka otomatis Pangkostrad menjadi penggantinya. Hal inilah yang memudahkan Soeharto untuk mengorganisir serangan balik terhadap G30S.
Kedua, Soeharto sebetulnya menyadari bahwa G30S hanyalah gerakan internal Angkatan Darat untuk mencegah kup Dewan Jenderal terhadap Bung Karno. Jadi, Soeharto mestinya sadar bahwa G30S bukanlah kudeta, melainkan ‘gerakan penyelamatan’ alias ‘kontra-kudeta’. Soeharto juga tahu bahwa yang menggerakkan G30S ini adalah ‘anak-buahnya’. Tetapi kemudian, Soeharto mengarang cerita bahwa G30S digerakkan oleh PKI untuk merebut kekuasaan Soekarno.
Tudingan bahwa PKI ingin merebut kekuasaan juga cukup janggal. Pertama, PKI dan Soekarno saat itu berada dalam satu blok, yakni anti-imperialisme. Eksistensi PKI juga sangat diuntungkan di bawah kekuasaan Soekarno. Kedua, bila ingin merebut kekuasaan, PKI tidak perlu menggunakan jalur kudeta. Cukup menuntut Pemilu dipercepat. Sebab, sejak pemilu Dewan Daerah pada tahun 1957, PKI sudah menang besar. Banyak yang berkesimpulan, kalau ada pemilu saat itu, PKI pasti tampil sebagai pemenang.
Ketiga, kelihatan bahwa G30S dirancang untuk gagal. Kita bisa melihat betapa amburadulnya gerakan ini melalui evaluasi Brigjend Supardjo yang berjudul “Beberapa Pendapat Yang Mempengaruhi Gagalnya G30S Dipandang Dari Sudut Militer”: adanya perwira yang mengundurkan diri, belum adanya kesiapan pasukan, rencana operasi tidak jelas, dan tidak ada upaya melawan serangan balik Soeharto-Nasution.
Yang juga aneh, gerakan ini awalnya hanya bermaksud untuk menangkap para Jenderal yang dituding anggota Dewan Jenderal dan menghadapkannya kepada Bung Karno. Namun, pada prakteknya, sejumlah Jenderal dieksekusi ditempat.
Di sini ada kejanggalan. Pimpinan lapangan operasi penculikan adalah Dul Arief. Menurut Ben Anderson, Indonesianis dari Universitas Cornell, Dul Arief ini orang yang sangat dekat dengan Ali Moertopo. Malahan, menurut pengakuan Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, Dul Arief itu anak angkat Ali Moertopo.
Jadi, dari uraian panjang di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Soeharto punya andil dalam G30S. Dan, satu hal yang tak bisa dibantah: Soeharto-lah yang paling diuntungkan dari peristiwa G30S. Kita tahu, Soeharto menjadikan peristiwa itu sebagai dalih untuk menumpas PKI, membunuh jutaan jiwa rakyat Indonesia yang dituding kader atau simpatisan PKI, dan memfitnah Bung Karno terlibat G30S sebagai jalan untuk menggulung kekuasan Soekarno.
Timur Subangun, Kontributor Berdikari Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar